Akademisi: Pendamping desa jadi caleg dan tak mundur berpotensi pidana

Jakarta – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Kristen Indonesia (UKI) Prof. Dr. Mompang mengungkapkan bahwa Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang tidak mengundurkan diri saat menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 mungkin akan menghadapi sanksi pidana.

Dalam pernyataan yang diterima di Jakarta pada hari Senin, Prof. Mompang menekankan bahwa tindakan yang dilakukan oleh TPP atau pendamping desa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika terdapat bukti bahwa mereka menerima gaji atau honor secara ilegal.

“Jika seseorang mendapatkan penghasilan atau gaji dari uang negara secara ilegal, sesuai dengan sifat melawan hukum formal, maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana korupsi, karena menghasilkan kekayaan bagi diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau ekonomi negara,” jelasnya Pttogel.

Pernyataan ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUUIV Tahun 2006 serta Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa tindakan melawan hukum formal dapat mengakibatkan tiga jenis keuntungan yang tidak sah, yaitu memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, atau memperkaya korporasi.

Dalam konteks ini, dia menyampaikan bahwa jika seorang TPP terus menerima gaji atau honor setelah ditetapkan sebagai calon tetap anggota legislatif tanpa mengundurkan diri, maka individu tersebut dianggap telah memperoleh kekayaan secara ilegal.

“Oleh sebab itu, jika TPP tetap menerima gaji dan honor tetapi tidak mengundurkan diri ketika pencalonan berlangsung, maka TPP tersebut seharusnya mengembalikan gaji atau honor yang telah diterima sejak ia resmi menjadi calon anggota tetap,” ungkapnya.

Apabila tidak ada langkah tersebut, menurutnya, tindakan itu bisa dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi, karena yang bersangkutan telah kehilangan status, hak, dan kewenangannya sejak ditetapkan sebagai calon tetap.

Prof. Mompang juga menambahkan bahwa dari sudut pandang hukum administrasi, TPP yang terbukti melanggar ketentuan tersebut tidak dapat melanjutkan kontraknya. Hal ini merujuk pada Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mensyaratkan calon legislatif dari kelompok tertentu, termasuk tenaga pendamping profesional, untuk mengundurkan diri sebelum pencalonan. .