Komisi Fatwa MUI Surakarta Gelar Seminar Fatwa dan Launching Kitab Usul Fiqih Empat Madzhab

Bedah fatwa

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta menyelenggarakan seminar bertajuk “Bedah Peran Fatwa MUI dalam Membangun Harmoni Hukum dan Syariat di Indonesia”. Kegiatan ini bertempat di Aula Gedung 1 Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin Al Mustainiyyah Surakarta, Jl. Markisa II No. 6 Surakarta, dan dihadiri oleh berbagai tokoh agama, akademisi, serta masyarakat umum.

Acara ini diawali dengan sambutan oleh Ketua MUI Surakarta KH. Abdul Aziz Ahmad. Ketua MUI Surakarta mengatakan dalam sambutannya “Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, yang memungkinkan kita berkumpul pada hari ini dalam acara yang sangat berarti, yaitu Seminar Fatwa dengan tema “Bedah Peran Fatwa MUI dalam Membangun Harmoni Hukum dan Syariat di Indonesia.” Saya sangat bangga dengan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Komisi Fatwa MUI Surakarta, yang selalu menghadirkan manfaat dan solusi terhadap tantangan umat. Khususnya acara ini yang telah mengangkat tema penting tentang peran fatwa dalam menjawab dinamika hukum dan syariat di tanah air. Saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada keluarga besar Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin Al Mustainiyyah, yang telah menunjukkan semangat luar biasa dalam mendukung setiap kegiatan MUI, serta memperkuat kolaborasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan fiqh.”
“Sebagai ulama CVTOGEL, sangat penting bagi kita untuk menulis dan menyebarkan ilmu seperti yang dicontohkan Gus Mustain Nasoha, serta berperan aktif dalam menghasilkan fatwa yang memberikan arah dan solusi yang konkret. Namun demikian, kita juga harus menguasai syarat-syarat yang benar dalam berfatwa. Seorang mufti tidak hanya harus memiliki ilm al-ustadh atau ilmu yang mendalam, tetapi juga memahami muwafaqah dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang berkembang di masyarakat, serta ri’ayah al-masalih untuk kepentingan umat.” Pungkasnya
Acara dilanjutkan sambutan dari Tuan Rumah, dalam sambutannya Kyai Wassim Ahmad Fahruddin, SE. Selaku Wakil Ketua Yayasan Raudlatul Muhibbin Al Mustiniyyah Surakarta mengatakan ” Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat berkumpul dalam seminar yang mulia ini dengan tema “Bedah Peran Fatwa MUI dalam Membangun Harmoni Hukum dan Syariat di Indonesia.” Kami di Yayasan Raudlatul Muhibbin Surakarta merasa terhormat menjadi host dalam acara yang sangat penting ini. Semoga kegiatan ini dapat menjadi sebuah academic forum yang produktif dan memberikan insight yang konstruktif dalam upaya penguatan implementasi fatwa yang dapat diterapkan dalam konteks sosial yang senantiasa dinamis. Dengan penuh komitmen, kami di Raudlatul Muhibbin senantiasa siap untuk memberikan dukungan penuh kepada MUI dalam setiap inisiatif dan kegiatan yang bertujuan untuk memperkokoh sinergi antara positive law dan shari’ah law demi terciptanya harmoni sosial. Semoga dengan kolaborasi ini, kita dapat menciptakan scientific discourse yang bermanfaat dalam menjawab tantangan hukum dan syariat di Indonesia.” Pungkasnya.
Adapun Keynote Speaker disampaikan oleh KH. Muh. Mashuri, S.E., M.Si. selaku Ketua PCNU Surakarta dan Ketua FKUB Surakarta. Dalam pemaparannya, KH. Muh. Mashuri menjelaskan pentingnya fatwa sebagai panduan strategis bagi masyarakat dalam menghadapi persoalan kontemporer. Beliau menyoroti bagaimana fatwa dapat menjembatani kebutuhan umat tanpa mengorbankan prinsip syariat Islam. Contoh konkret yang disampaikan termasuk fatwa terkait halal-haram produk teknologi dan investasi berbasis syariah.
Acara dilanjutkan paparan dari KH. AM. Mustain Nasoha, Sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI, beliau menegaskan fatwa sebagai instrumen ijtihd yang berpijak pada na shar’, maqid al-shar’ah, dan istiqr’ maqid. Beliau mengulas harmonisasi qnn wad’ (hukum positif) dengan hukum syariat untuk menjawab isu kontemporer seperti nik mukhtalif al-dn dan tawz’ al-zakh dalam konteks al-siysah al-shar’iyyah. Melalui metodologi dirsah naiyyah, takhrj al-man, dan mu’arah waqi’iyyah, fatwa disusun secara komprehensif dengan memperhatikan fiqh al-aqwm. Fatwa, kata beliau, harus menjadi mzn shaff dalam menuntaskan dilema hukum sekaligus memperkukuh ithr shar’ dalam tatanan kehidupan berbangsa.
Selanjutnya acar inti, Pembicara Pertama KH. Muh. Zainal Abidin, M.Pd.. KH. Zainal Abidin membahas proses ijtihad dalam penyusunan fatwa, yaitu upaya untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer dengan menggunakan metode hukum Islam klasik, seperti qiys (analogi hukum) dan ijm’ (konsensus ulama). Beliau menekankan pentingnya adaptasi metode tersebut agar tetap relevan dengan perubahan zaman dan dapat menyelesaikan isu-isu modern.
Dalam penjelasannya, KH. Zainal Abidin memberi contoh hukum terkait teknologi medis, seperti bayi tabung dan transplantasi organ. Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan ulama yang mendalami agama dan para pakar ilmu pengetahuan agar fatwa yang dihasilkan dapat menjawab persoalan yang ada.
Beliau menegaskan bahwa penguasaan metode fatwa seperti istisn (preferensi hukum) dan malaah (kemaslahatan umum) menjadi sangat penting agar fatwa yang dikeluarkan tidak hanya sesuai dengan syariat, tetapi juga sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Penguasaan metode tersebut membantu pengurus fatwa untuk merumuskan hukum yang tepat dan relevan.
Pemaparan berikutnya dari Kyai Royali Roudli ( Perumus Lembaga Bahsul Masail NU Surakarta ) menjelaskan bahwa pesantren memiliki peran penting dalam mengimplementasikan fatwa, terutama terkait ekonomi syariah. Pesantren sebagai pusat pendidikan agama sangat relevan dalam menyampaikan fatwa kepada masyarakat. Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya komunikasi yang efektif untuk menjangkau masyarakat yang plural.
Pengambilan hukum antara NU dan MUI pada dasarnya tidak jauh berbeda. Keduanya menggunakan metode ijtihad yang menggabungkan prinsip syariat Islam dengan konteks zaman. MUI menghasilkan fatwa melalui musyawarah ulama dari berbagai latar belakang, sedangkan NU lebih menekankan pada keputusan berbasis konsensus yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, menjaga keselarasan antara hukum Islam dan realitas sosial.
Laucing Kitab Raudlul Badi’ karya KH. Mustain Nasoha
Dalam kegiatan Seminar Fatwa ini juga diadakan lauching Buku KH. AM. Mustain Nasoha. Buku Raudlul Badi’ karya KH. AM. Mustain Nasoha merupakan kontribusi ilmiah yang luar biasa dalam ranah ‘Ulm al-Ul (ilmu metodologi hukum Islam), dengan pendekatan muqranah al-ul (perbandingan ushul) empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam buku ini, beliau membahas ikhtilf al-manhaj (perbedaan pendekatan metodologis) terkait al-qiys (analogi hukum), istin (preferensi hukum), malaah mursalah (kemaslahatan terbuka), dan ‘urf a (adat yang valid), serta penerapannya dalam tasyr’t al-mu’irah (legislasi kontemporer).
Karya ini sangat signifikan bagi para pengurus fatwa, khususnya Komisi Fatwa MUI, karena menawarkan manhaj iinb al-akm (metodologi penetapan hukum) yang tidak hanya istiqr’ (berbasis induksi dalil) tetapi juga tawfq (mengharmonikan prinsip syariat dan realitas sosial). Buku ini memberikan pencerahan mendalam tentang bagaimana maqid al-shar’ah (tujuan syariat) menjadi landasan dalam menyelesaikan persoalan seperti nik mukhtalif al-dn (perkawinan beda agama), tanzhm al-zakh (regulasi zakat), hingga persoalan modern seperti al-mu’malt al-mliyah al-dhkiyyah (fintech syariah).
Beliau juga menggunakan metodologi jam’ wa-tabq wa-taqlb (pengumpulan, penerapan, dan analisis ulang), yang merupakan teknik integrasi untuk menyelesaikan konflik hukum antara mazhab melalui tawjh al-‘akm (pengarahan dalil). Buku ini menjadi markaz dirst (pusat studi) bagi siapa pun yang ingin memahami muwzanah al-ul (keseimbangan ushul) dalam menjawab tantangan shar’ mu’ir (kontekstual syar’i). Dengan menjadikan Raudlul Badi’ sebagai rujukan, pengurus fatwa dapat menghasilkan fatw shar’iyyah wa-waqi’iyyah (fatwa yang sesuai syariat dan konteks zaman), sehingga maslahat umat dapat tercapai tanpa mengorbankan integritas syariat.
Seminar dan Bedah buku ini menjadi wadah diskusi yang mendalam tentang peran fatwa dalam menciptakan harmoni hukum dan syariat. Para narasumber memberikan wawasan komprehensif yang mencakup pendekatan tradisional dan kontemporer, sehingga diharapkan mampu memperkuat peran MUI sebagai pemandu umat. Acara ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif, di mana peserta aktif berdiskusi dengan para pembicara, menunjukkan antusiasme terhadap tema yang diangkat.