Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia: Mencegah Meluasnya “Budaya” Korupsi

HAKORDIA

Pada setiap tanggal 9 Desember  masyarakat dunia memeringati Hari Antikorupsi. Peringatan ini sebagai bentuk komitmen dunia untuk melawan korupsi. Peringatan Hakordia telah menyatukan pandangan banyak negara mengenai korupsi yang merupakan musuh bersama karena dampak buruk yang dihasilkannya. Namun sampai saat ini  berbagai kasus korupsi  bukannya berkurang bahkan kian marak dengan aneka modus operandinya. Kondisi demikian semakin memperkuat argumen bahwa korupsi sudah menjadi apa yang oleh Bung Hatta, disebut sebagai “kebudayaan para penguasa” yang jelas merupakan bentuk pengkhianatan kepercayaan dan perampasan hak-hak rakyat.

Rumusan klasik Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely sudah sangat populer di kalangan ilmuwan pemerintahan (government scientists). Idiom ini mengingatkan betapa sebuah kekuasaan sangat rentan terhadap penyelewengan. Kita terlanjur percaya dengan tesis Acton,  yang dalam praktik harus diakui belum ada negasinya.

Keinginan serta obsesi untuk mewujudkan sebuah clean government dan good governance tentu masih ada. Walau kenyataan menunjukkan, pelaku-pelaku korupsi justru kebanyakan adalah birokrat dan legislator, kelompok yang semestinya mengayomi rakyat yang tersebar sebagai pengguna layanan berbagai strata pemerintahan dalam arti luas (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Berdasarkan pembahasan atas hasil pemantauan tren korupsi tahun 2023 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) memperlihatkan bahwa jumlah kasus dan tersangka korupsi dari hasil pemantauan sepanjang tahun 2023 mengalami peningkatan sangat signifikan, di mana ICW berhasil menemukan sebanyak 791 kasus dengan 1.695 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Dari kasus yang berhasil terpantau, potensi kerugian negara sebesar Rp 28,4 triliun, potensi nilai suap dan gratifikasi sebesar Rp 422 miliar, potensi nilai pemerasan Rp 10 miliar, dan potensi pencucian uang sebesar Rp 256 miliar.

Hasil temuan ICW sebelumnya juga menjelaskan dari 153 kasus korupsi yang ada, 67 % pelakunya adalah pihak eksekutif daerah. Perinciannya: pejabat dinas, seperti camat dan aparat desa/ kelurahan 25 %; pelaksana/ pimpinan proyek dan gubernur/ bupati/ wali kota dan wakilnya masing-masing 10 %; pimpinan lembaga/ badan usaha milik negara (BUMN) 8 %; caleg/ kader partai 4 %; direktur/ karyawan perusahaan swasta 3 %; ketua koperasi 2 %. Adapun 5 % sisanya dibagi secara merata masing-masing oleh pimpinan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), aparat keadilan, kepolisian, pimpinan lembaga swasta, dan petugas pelayanan umum. Sedangkan sisanya yaitu 33 % pelakunya adalah anggota legislatif pusat dan daerah.

Variasi Bentuk Korupsi

Mengacu pada Transparency International, nilai atau skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah 34 dari 100. Skor tersebut membuat Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara yang ditakar kadar korupsinya. Jika dibandingkan pada 2022, skor tersebut tidak mengalami perubahan. Namun, secara peringkat, Indonesia turun 5 peringkat, dari 110 menjadi 115. Capaian skor IPK Indonesia tercatat paling cemerlang adalah 40 pada 2019 lalu. Setelah itu, skor korupsi Indonesia terjun bebas menjadi 34 pada 2022 dan 2023.

Sumber data Transparansi Epictoto Internasional tahun 2003 juga pernah menempatkan Indonesia pada level 6 terkorup dari 133 negara di dunia. Begitu juga survai yang dilakukan Political Economic Risk Consultancy (PERC) memposisikan negara kita sebagai negara terkorup di kawasan Asia. Bentuk dan modus korupsinya pun kian beragam, menggurita dan menggerorogoti hampir semua lini pemerintahan. Mulai dari penyelewengan jabatan secara halus hingga pola-pola yang sangat transparan dan kasat mata. Tetapi, karakteristik korupsinya tetap sama yakni kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).

Berbagai variasi bentuk korupsi yang kerap terjadi dalam pemerintahan, antara lain: Pertama, bentuk korupsi yang paling banyak ditemui dalam hubungannya dengan penyalahgunaan fungsi monopoli dalam sektor publik adalah: uang pelicin, uang semir, suap, sogok, pungli, uang rokok, uang administrasi dan semacamnya. Jasa-jasa pelayanan dalam sektor publik termasuk keputusan-keputusan dan ijin-ijin yang dibuat selalu memiliki “nilai jual” karena permintaan melampaui suplai. Hal ini akibat prosedur resmi yang memakan waktu lama, mempingpong, berbelit-belit, mempersulit, impersonal, mahal serta menyelesaikan di “bawah” meja. Kenyataan ini memunculkan tudingan bernada minor, “kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat ?”  Atau, “kalau dapat diperpanjang, kenapa mesti diperpendek ?”, dan “kalau dapat diperdaya, kenapa harus diberdayakan ?”.

Kedua, bentuk korupsi yang paling marak saat ini, yaitu kejahatan kerah putih (white collar crime), karena bersifat elitis, bermodalkan wewenang dan kepintaran. Kebijakan desentralisasi politik yang diawali pada awal reformasi 1998 juga diiringi oleh desentralisasi korupsi. “Budaya” korupsi yang telah ada dan terpelihara dan berkembang sejak masa Orde Baru terutama pada lingkaran elit pemerintah pusat kini menemukan habitat barunya di daerah-daerah. Hilangnya fungsi pengawasan legislator, karena kolaborasi politisi di legislatif dengan birokrat telah menciptakan situasi kondusif bagi perkembangan korupsi di daerah. Hal ini menunjukkan kondisi yang ironis. Alih-alih dapat menyejahterakan rakyat, otonomi daerah malah melahirkan desentralisasi korupsi ke berbagai daerah. Hal ini karena otonomi memberikan peluang baru yang sangat luas bagi politisi dan birokrat menunjukkan kekuasaannya–yang sekali lagi, meminjam tesis Acton cenderung atau pasti korup.

Ketiga, budaya “gotong royong”, saling menolong dapat bermuara dalam bentuk sogok yang membuahkan nepotisme. Promosi pegawai atau penetapan calon legislatif beberapa waktu lalu cenderung tidak lagi mengikuti sistem merit dalam tradisi  Weberian. Tetapi lebih menunjukkan sistem patronase yang didasarkan pada “kedekatan” dan besarnya “tanda terima kasih” yang disiapkan seorang calon. Oleh karena itu, pengrekutan tidak hanya dilihat sebagai prosedur administrasi tetapi juga sebagai sarana untuk memberikan pendapatan kepada keluarga, partai, klien dan patron lainnya.

Berdasarkan tujuan yang mendorong seorang pejabat publik melakukan korupsi, dibedakan dua bentuk korupsi. Pertama, korupsi politis merupakan penyelewengan kekuasaan yang lebih mengarah pada praktek politik “kotor”, nepotisme, klientelisme, money politics dan sebagainya. Kedua, korupsi material kebanyakan berbentuk manipulasi, penyuapan, penggelapan dan sebagainya.

Pencegahan Korupsi

Pakar  reformasi China, Wang An Shih, beberapa abad lalu sudah mengingatkan bahwa korupsi muncul karena kekuasaan bermoral rendah dan hukum yang lemah. Korupsi sebetulnya bukan tidak dapat dibasmi. Akar persoalannya terletak pada simton kegagalan akuntabilitas dalam kinerja pemerintahan. Demi akuntabilitas, kebijaksanaan yang diambil harus melibatkan peran masyarakat, akademisi, LSM dan pers.

Masyarakat mesti selalu diingatkan bahwa tindakan korup adalah melawan norma. Semua komponen masyarakat harus aktif melakukan gerakan sosial untuk mencegah dan mengeliminasi korupsi. Sikap cuek dan masa bodoh merupakan penghalang besar dalam mencegah meluasnya “budaya” korupsi dalam pemerintahan.

Beberapa cara yang dapat dipergunakan antara lain: Pertama, cara sistemik dengan membenahi dan memberdayakan suprastruktur maupun inprastruktur politik. Termasuk dalam hal ini kemungkinan perubahan sistem pemilihan menjadi sistem distrik yang lebih memberikan peluang bagi rakyat memilih dan sekaligus mengontrol pilihannya, baik legislator maupun kepala daerah. Kedua, cara abolisionistik dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan memberdayakan penegakkan hukum. Ketiga, cara moralistik dengan memperkuat benteng etika, moral birokrat dan politisi guna menangkal ancaman virus korupsi.

Berbagai cara sistemik, abolisionistik dan moralistik mesti dilakukan, untuk setidak-tidaknya tetap menjaga  ajeg-nya kepercayaan publik yang diemban. Penerapan ketiga landasan tersebut secara konsisten akan dapat mengeliminasi korupsi sekaligus menumbuhkan karakter dan kebijaksanaan penguasa. Hal ini juga merealisasikan petuah Bhisma kepada Pandawa dalam Bharata Yudha: charitum shakyum samyagrajayadhi loukikam. Hanya orang berkarakter teguh dan bijaksana dapat memimpin pemerintahan secara baik dan bersih.